Oleh: Yudi Latif
OPINI - Saudaraku, kata "merdeka" berasal dari bahasa Sansekerta "mahardhika", kata sakral yang menyimpan makna bijak, terpelajar, terang cahaya batin. Bukan sebatas kebebasan di udara, tapi kebebasan yang berpendar dalam jiwa tercerahkan.
Dalam kearifan Jawa kuno, kata itu disematkan pada para bhikkhu Buddha, penjaga ilmu dan kesucian, yang punya status bukan karena tahta atau harta, melainkan karena kedalaman pengetahuan dan ketinggian budi.
Merdeka sejati bukan sekadar bebas dari rantai; ia mahakarya bangsa yang mengangkat seluruh anaknya ke ranah keterpelajaran, tempat hati dan pikiran berjumpa dalam simfoni kecerdasan, menyulam kekuatan untuk menjawab tantangan dan membangun masa depan yang bermartabat.
Dalam kemerdekaan, semua insan—tanpa memandang kelas, kasta, asal—berdiri sejajar, sama terhormat, bukan karena keberuntungan nasib, melainkan akses setara pada cahaya ilmu pengetahuan.
Namun kini, dalam derap laju pembangunan fisik, jiwa manusia justru dikerdilkan, yang dihargai bukan kemerdekaan jiwa dengan keterdidikan unggul, melainkan tampilan fisik yang semu dan gemerlap, seolah nilai tertanam hanya di permukaan, bukan di dalam nadi.
Jika kemerdekaan tanpa keterpelajaran adalah kapal tanpa nahkoda, maka kemerdekaan dengan keterpelajaran adalah pelayaran agung menuju cakrawala penuh harapan.
Kebebasan yang positif tumbuh subur di tanah pendidikan unggul, menyuburkan akar kecerdasan, menumbuhkan buah kebijaksanaan yang memberi makna kemerdekaan.
Tanpa keterdidikan, jiwa bangsa hanyalah gelora hampa tanpa arah. Namun, bila dirajut dengan benang keterpelajaran, ia menjadi kain mulia—kehidupan bangsa penuh makna, cemerlang kecerdasan,
dan agung budi pekerti.
Maka, kemerdekaan sejati bukan sekadar terlepas dari belenggu, melainkan bebas berpikir, memahami, dan bertumbuh dalam kesadaran terdidik. Ia menuntun bangsa dari gelap ketidaktahuan menuju terang pengetahuan, dari kesetaraan yang diucapkan menjadi kenyataan yang terpatri dalam hati dan tindakan.
COMMENTS