Oleh: Yudi Latif
OPINI - Saudaraku, di negeri yang merdeka ini, pejabat duduk di kursi empuk, berbicara tentang kemajuan dengan suara lantang, sambil menatap layar yang memantulkan citra mereka sendiri. Mereka mengatur rapat, membuat peraturan, menandatangani dokumen—namun lupa bahwa negara bukan sekadar kertas dan tinta. Jalan berlubang tetap menganga, sekolah runtuh, rumah bocor; kemerdekaan yang dibanggakan hanyalah hiasan di brosur resmi.
Ironi terbesar: rakyat diminta menghormati mereka sebagai pelayan bangsa, sementara mereka sendiri tak menghidupkan terang ketika gelap menelan kampung. Disiplin berhenti di batas kenyamanan, loyalitas hanya pada kursi yang diduduki. Janji dan pidato menjadi mata uang, tapi rakyat membayar dengan keringat, air mata, dan waktu hidup mereka.
Di gang sempit dan akar rumput pelosok negeri, orang-orang yang dianggap "biasa" menegakkan kemerdekaan setiap hari. Mereka menanam pohon di halaman bersama, menjaga sungai tetap bersih, menolong tetangga yang kesulitan, mengajar anak-anak yang tak punya sekolah. Tanpa tepuk tangan, tanpa kamera, tangan-tangan kecil itu mengangkat negeri, sementara tangan-tangan "besar" sibuk memoles citra diri.
Paradoks berlapis: bendera berkibar di halaman gedung negara, tapi mereka yang menggerakkan denyut bangsa tak pernah mendapat pengakuan. Negara memanggil rakyat bersyukur, tapi hak-hak dasar—makan cukup, sekolah layak, hidup aman—sering diabaikan. Pejabat merayakan kemerdekaan dengan parade dan kembang api, sementara kemerdekaan sejati dijalankan oleh mereka yang menahan banjir, menyalakan lampu, dan menjaga kehidupan.
Kemerdekaan di negeri ini tak tumbuh di istana, tak dijunjung elite politik. Ia berakar dalam kerja senyap tangan-tangan tak ternama—yang menanam pangan, mengalirkan listrik, menjaga keselamatan, dan menyambung hidup tanpa sorak-sorai. Bangsa tetap berdiri bukan karena janji atau citra, melainkan karena keberanian, ketekunan, dan pengorbanan mereka yang diam-diam memikul beban negeri.
COMMENTS