Oleh: Yudi Latif
OPINI — Di bumi yang letih ini, kekuasaan tumbuh tanpa akar nalar dan moral. Sejarah dilupakan, luka lama berulang, dan kepercayaan rakyat luruh seperti debu di angin.
Di balik gemuruh janji dan parade ambisi, ada kehampaan yang pelan-pelan menggerogoti sendi bangsa. Tanpa kepercayaan, hukum menjadi suara kosong, demokrasi menjadi pasar riuh yang kehilangan arah. Negeri ini, seperti istana pasir, dibangun dengan tergesa, mudah runtuh ditiup angin pertama.
Kita hidup dalam sebuah zaman ketika kata-kata kehilangan bobot, dan pemimpin kehilangan teladan. Rakyat mengembara di antara kecurigaan dan apatisme, mencari sesuatu untuk diyakini, namun terlalu sering hanya menemukan bayang-bayang yang berkhianat.
Dalam dunia yang retak ini, yang kita butuhkan bukan sekadar pergantian nama di atas lembar suara. Kita mendambakan jiwa-jiwa langka — mereka yang tak hanya mengumandangkan perubahan,
tetapi menanggungnya dalam keheningan dan kesetiaan pada kerja yang tak kenal lelah.
Mereka yang mengerti bahwa membangun bangsa bukanlah tentang mengumpulkan kuasa, melainkan tentang menanam kepercayaan dalam tanah gersang,
merawatnya dengan keberanian, dan menyiraminya dengan ketulusan.
Barangkali, harapan kini tak lagi berteriak di atas podium. Ia berbisik lembut di relung-relung hati yang bersedia percaya sekali lagi: percaya pada kebaikan yang sederhana, pada kerja sunyi yang tulus, pada api kecil yang tetap menyala di tengah badai yang terus menghantam.
Mungkin, jalan pulang bangsa ini bukanlah jalan gemilang yang ramai, tetapi lorong-lorong senyap, di mana satu demi satu, simpul-simpul kepercayaan dirajut kembali —dengan sabar, dengan air mata, dengan cinta yang tak menyerah.
COMMENTS