OPINI - Tiga sistem ekonomi besar telah membentuk peradaban modern: kapitalisme, sosialisme, dan berbagai bentuk sintesis pasar-negara seperti Keynesianisme dan neoliberalisme.
Kapitalisme menjanjikan kebebasan individu melalui mekanisme pasar; sosialisme menjanjikan kesetaraan melalui kontrol negara; sementara Keynes dan Friedman mencoba menyeimbangkan keduanya lewat teori fiskal dan moneter.
Namun di tengah globalisasi digital, keempatnya menghadapi krisis legitimasi ketimpangan melebar, ekologi rusak, dan manusia kehilangan makna dalam proses ekonomi.
Kapitalisme hari ini tidak lagi seperti pasar bebas abad ke-19, melainkan kapitalisme data dan keuangan: kekuasaan baru yang mengontrol perilaku melalui algoritma, bukan sekadar harga. Sosialisme klasik pun tidak lagi berdiri; yang tersisa adalah demokrasi sosial Eropa dan kapitalisme negara ala Tiongkok, yang sering kali menukar kesetaraan dengan kebebasan.
Sementara Keynesianisme yang dahulu menjadi penopang "negara kesejahteraan," kini dikritik karena stimulusnya justru memperkuat konglomerat dan korporasi digital. Friedmanisme, dengan keyakinan pasar bebas dan privatisasi, melahirkan deregulasi ekstrem yang menumpuk kekayaan di tangan segelintir orang.
Dunia sedang kelelahan mencari keseimbangan antara pasar dan negara. Di sinilah Indonesinomics hadir, bukan sekadar kompromi di antara dua ekstrem, tetapi transendensi di atasnya - membangun ekonomi dengan kesadaran moral.
Kapitalisme dan Sosialisme: Dua Cermin tanpa Manusia
Kapitalisme klasik percaya pada kebebasan individu dan efisiensi pasar. Ia melahirkan inovasi dan produktivitas, tetapi juga menciptakan ketimpangan struktural. Dalam versi digitalnya kini, pasar bukan lagi arena persaingan bebas, melainkan ekosistem monopoli algoritmik. Data dan waktu manusia menjadi komoditas baru.
Kapitalisme menciptakan pasar yang rasional tapi sering kehilangan rasa mekanisme efisien yang dingin, mengabaikan relasi sosial, etika, dan keberlanjutan. Sosialisme, sebaliknya, berangkat dari niat luhur menciptakan kesetaraan. Namun ketika negara menjadi pemilik tunggal alat produksi, kebebasan individu kerap terpinggirkan.
Sosialisme menegakkan struktur keadilan, tetapi sering kehilangan ruang otonomi dan kreativitas. Ia menyatukan manusia dalam sistem, tapi sering melupakan batinnya.
Indonesinomics berangkat dari kesadaran bahwa manusia tidak bisa direduksi menjadi "homo economicus" seperti dalam kapitalisme, atau sekadar anggota kelas seperti dalam sosialisme. Manusia adalah makhluk moral dan relasional yang menemukan dirinya melalui kebersamaan dan keadilan. Ekonomi, dalam pandangan ini, bukan sistem teknokratis, melainkan ruang etis di mana martabat manusia diuji.
Keynes dan Friedman: Dua Koreksi yang Belum Menyentuh Akar
Setelah Depresi Besar 1930-an, John Maynard Keynes memperkenalkan teori baru: pasar tidak selalu mampu menyeimbangkan diri, negara harus hadir menjaga permintaan agregat melalui belanja publik dan defisit fiskal. Keynesianisme melahirkan masa kejayaan "negara kesejahteraan" pasca-Perang Dunia II. Namun dalam praktiknya, stimulus besar sering mengalir ke korporasi, bukan ke rakyat.
Selama pandemi COVID-19, model ini kembali digunakan di seluruh dunia, tapi hasilnya justru memperbesar kesenjangan antara pekerja dan pemilik modal digital. Sebagai reaksi, Milton Friedman dan Mazhab Chicago menawarkan koreksi sebaliknya: negara jangan terlalu ikut campur, biarkan pasar bekerja.
Namun teori monetarisme dan neoliberalisme ini kemudian melahirkan dunia tanpa rem moral deregulasi, privatisasi, dan krisis finansial berulang. Kebebasan pasar yang dijanjikan berubah menjadi dominasi korporasi global yang lebih kuat dari negara.
Indonesinomics tidak menolak negara maupun pasar, tapi menolak keduanya menjadi ideologi. Negara boleh hadir, tapi dengan transparansi dan akuntabilitas publik. Pasar boleh tumbuh, tapi harus melayani kesejahteraan sosial. Ia menawarkan jalan partisipatif, di mana kekuasaan ekonomi tersebar di tangan rakyat yang sadar nilai moral dan solidaritas.
Indonesinomics: Jalan Ketiga dengan Kesadaran Moral
Indonesinomics bukan sekadar "jalan tengah," tapi jalan baru yang berangkat dari kesadaran etis bangsa. Ia menempatkan rakyat sebagai subjek ekonomi - bukan hanya pemilih, bukan hanya konsumen, tapi pencipta nilai tambah. Negara menjadi fasilitator solidaritas, bukan penguasa alat produksi. Pasar dihidupkan kembali sebagai alat pertukaran nilai, bukan arena dominasi modal.
Dalam praktiknya, Indonesinomics hadir melalui bentuk kelembagaan partisipatif; koperasi digital milik pengguna, BUMDes yang dikelola warga, platform data rakyat yang membagi dividen bagi kontributor, hingga komunitas energi dan pangan mandiri.
Semua ini menandai pergeseran dari ekonomi berbasis kepemilikan modal menuju ekonomi berbasis partisipasi sosial.
Keberhasilan ekonomi dalam paradigma ini tidak diukur dari pertumbuhan PDB, tapi dari keadilan dan kesadaran: seberapa besar rakyat memiliki akses terhadap aset, berdaulat atas data, dan ikut menentukan arah kebijakan. Ekonomi yang baik bukan yang tumbuh paling cepat, tapi yang tumbuh paling manusiawi.
Kesadaran Ekologis dan Tanggung Jawab Antargenerasi
Indonesinomics juga menyatukan dimensi ekologis sebagai inti, bukan pelengkap. Alam bukan objek eksploitasi, melainkan mitra produksi yang menuntut tanggung jawab moral. Setiap kebijakan ekonomi harus memperhitungkan daya dukung bumi dan hak generasi mendatang.
Dalam hal ini, keadilan ekologis adalah perpanjangan dari keadilan sosial.
Penutup - Dari Rasionalitas ke Kesadaran
Jika kapitalisme percaya bahwa pasar akan menyeimbangkan segalanya, dan sosialisme percaya negara dapat menyamakan segalanya,
maka Indonesinomics percaya bahwa rakyat yang sadar dan bermoral akan mampu menyeimbangkan keduanya. Ia menolak ekstrem, tapi juga menolak netralitas. Indonesinomics bukan teori ekonomi semata ia adalah seruan etis untuk mengembalikan ekonomi kepada hati nurani bangsa.
Di tengah kebuntuan sistem global, Indonesinomics menjadi kontribusi intelektual Indonesia bagi dunia: sebuah sistem yang memadukan efisiensi, keadilan, dan kesadaran moral, sebuah ekonomi dengan hati nurani.
Pertanyaan yang paling sulit - dan sekaligus paling penting - dalam membangun Indonesinomics adalah ini: bisakah ekonomi moral berjalan otomatis di atas rel kebaikan, atau tetap bergantung pada kesadaran manusia?
Jawabannya: ekonomi moral tidak akan pernah otomatis. Ia bukan seperti mesin pasar yang digerakkan oleh harga dan laba.
Ia adalah ruang etis tempat manusia diuji - apakah ia mampu menyeimbangkan kepentingan pribadi dengan tanggung jawab sosial.
Adam Smith, bapak ekonomi modern, pernah menulis dua karya besar. Yang pertama, The Theory of Moral Sentiments, berbicara tentang simpati dan empati sebagai dasar kehidupan ekonomi. Yang kedua, The Wealth of Nations, membahas mekanisme pasar dan pembagian kerja.
Dunia modern memilih yang kedua dan melupakan yang pertama.
Indonesinomics berusaha menyatukan keduanya - antara moral sentiment dan wealth creation.
Itulah mengapa Indonesinomics tidak hanya berbicara tentang sistem, tetapi juga tentang kesadaran. Keadilan sosial tidak akan lahir dari algoritma, melainkan dari manusia yang sadar akan tanggung jawabnya terhadap sesama dan alam. Negara, dalam hal ini, menjadi penjaga nurani publik: menciptakan transparansi, memberi insentif bagi perilaku etis, dan melindungi partisipasi rakyat agar moralitas punya ruang hidup di dalam kebijakan.
Ekonomi moral tidak akan sempurna. Ia bisa gagal, tergelincir, bahkan disalahgunakan - sama seperti demokrasi yang tak pernah steril dari kepentingan. Namun bedanya, ekonomi moral punya mekanisme koreksi: kesadaran yang tumbuh dari pengalaman, dari partisipasi rakyat, dan dari ruang publik yang terbuka.
Maka Indonesinomics bukan utopia. Ia bukan sistem otomatis yang menjamin kebaikan, melainkan ekosistem moral yang terus belajar untuk menjadi lebih adil dan manusiawi. Selama manusia masih punya hati nurani, selama negara masih mau diawasi rakyatnya, dan selama pasar masih bisa diarahkan pada solidaritas, ekonomi moral akan tetap hidup - bukan karena ia sempurna, tapi karena ia sadar.
Di sinilah titik akhirnya, sekaligus titik berangkatnya kembali: Indonesinomics bukan tentang ekonomi yang berjalan sendiri, melainkan tentang manusia yang memilih untuk berjalan di jalan kebaikan. I rmol
________________
Oleh: Gde Siriana Yusuf
Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies (iNFUS) dan Kandidat Doktor Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran

COMMENTS